Terima Kasih Atas Kunjungannya

Kamis, 27 Mei 2010

KEBERADAAN PONDOK PESANTREN PADA ABAD MODERN

oleh: Asep Bunyamin
(Dewan Asatidz di Pondok Pesantren Nurul Hasanah Selebu Cipasung Cipakat Singaparna Tasikmalaya)

A. Pendahuluan
Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri. Mengenai asal usul kata santri, tidak ada kesepakatan di kalangan para peneliti. Sebagian mengatakan bahwa kata santri berasal dari kata sastri, sebuah kata dari Bahasa Sansakerta yang artinya melek huruf. Sementara menurut Zamakhsyari Dhofier, kata santri adalah sebuah kata dalam Bahasa India yang artinya adalah orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu. Berbeda dengan kedua pendapat di atas, Robson berpendapat bahwa kata santri berasal dari Bahasa Tamil “sattiri” yang berarti orang yang tinggal di sebuah rumah gubuk atau bangunan keagamaan secara umum.
Di Indonesia, istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Pondok berasal dari Bahasa Arab funduq, yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal yang sederhana. Penggunaan gabungan kedua istilah tersebut secara integral, yakni pondok dan pesantren menjadi pondok pesantren lebih mengakomodasikan karakter keduanya.
Dengan demikian, pondok pesantren dapat diartikan secara etimologi sebagai sebuah hotel, asrama, rumah, atau tempat tinggal sederhana yang dihuni oleh orang yang melek huruf, tahu buku-buku suci agama. Dan santri adalah orang yang melek huruf, mengetahui buku-buku suci agama yang tinggal di hotel, asrama, rumah gubuk, atau bangunan keagamaan secara umum.
Di samping itu, ada juga yang mendefinisikan pesantren sebagai “lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari”.
Terminologi pesantren di atas, mengindikasikan bahwa secara kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia. Menurut Nurcholish Madjid, secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tapi juga makna ke-Indonesia-an. Sebab cikal bakal pesantren sudah ada pada masa Hindu-Budha, Islam hanya tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya.

B. Karakteristik Pondok Pesantren
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren berbeda dengan pendidikan lainnya, baik dari aspek sistem pendidikannya maupun unsur-unsur pendidikan yang dimilikinya. Perbedaan dari segi sistem pendidikannya dapat terlihat dari proses belajar-mengajarnya yang cenderung sederhana dan tradisional, sekalipun terdapat pesantren yang memadukan sistem pendidikannya dengan sistem pendidikan modern.
Karakteristik umum pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah, dan lembaga sosial dapat dilihat dari perangkat-perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software)-nya. Secara umum, pondok pesantren memiliki perangkat-perangkat sebagaimana dikemukakan oleh Zamakhsyari Dhofier, meliputi lima unsur; masjid, pengajaran kitab klasik, kiai, santri, dan asrama atau pondok.
Masjid dianggap sebagai tempat yang tepat dan strategis untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik shalat berjama’ah, shalat jum’at, kegiatan ritual, dan tempat pengajian. Masjid merupakan sentral kegiatan dalam tradisi pesantren. Pengajaran kitab klasik, terutama di pesantren-pesantren salafiyah merupakan satu-satunya pengajian formal yang diberikan di lingkungan pesantren. Tujuan utamanya adalah mendidik para santri sebagai calon-calon kiai Kiai merupakan elemen yang paling esensial dalam suatu pesantren. Tidak mungkin ada pesantren tanpa kiai, begitu pula sebaliknya, kiai mesti memiliki pesantren. Santri merupakan elemen penting dalam suatu lembaga pesantren, karena sebuah lembaga tidak bisa disebut pesantren manakala tidak ada santri yang belajar di lembaga tersebut. Pondok atau asrama merupakan elemen lanjutan setelah pesantren mengalami perkembangan, santri yang belajar semakin bertambah, bahkan banyak yang berasal dari luar daerah, sedangkan rumah kiai yang biasa ditempati oleh para santri sudah tidak dapat lagi menampungnya.
Adapun secara spesifik, karakteristik pondok pesantren dalam bentuknya yang masih murni adalah sebagai berikut:
1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya.
2. Adanya kepatuhan santri yang sangat tinggi kepada kiainya
3. Adanya pembiasaan hidup hemat dan sikap sederhana dalam kehidupan duniawi
4. Adanya penanaman sikap kemandirian yang sangat terasa dalam memenuhi segala keperluan.
5. Adanya jiwa tolong-menolong dan persaudaraan yang sangat mewarnai pergaulan di pondok pesantren
6. Adanya penekanan dan penanaman kedisiplinan dalam ketepatan waktu shalat, kegiatan pendidikan, kegiatan peribadatan, dan dalam perilaku sehari-hari
7. Adanya pembiasaan hidup prihatin untuk mencapai tujuan mulia, seperti tirakat, shalat tahajjud, riyadlah, dan lain-lain.
8. Adanya lingkungan pendidikan yang strategis untuk penanaman sikap dan kehidupan beragama yang baik, karena pesantren merupakan tempat pendidikan dan pengajaran agama.
Selanjutnya Nurcholis Madjid mengemukakan hal-hal lain yang melekat pada pondok pesantren, yaitu teosentrik, ikhlas dalam pengabdian, kearifan, kesederhanaan, kolektifitas, mengatur kegiatan bersama, kebebasan terpimpin, kemandirian, keyakinan bahwa belajar itu ibadah, pengamalan ajaran agama, dan kepatuhan terhadap kiai.
Sementara Amin Haedari, ketika ia hendak mengatakan bahwa pendidikan pesantren dapat dijadikan jawaban dalam menghadapi krisis kemanusiaan, ia mengemukakan beberapa alasan yang tiada lain adalah karakteristik pondok pesantren. Menurutnya pesantren memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Adanya keteladanan kiai dalam mengamalkan segala disiplin ilmu yang dimilikinya di dalam kehidupan keseharian kiai. Keteladanan ini merupakan kunci utama keberhasilan pesantren dalam membina para santri, khususnya dalam aspek afektif dan psikomotor.
2. Adanya perhatian besar yang diberikan oleh kiai kepada para santrinya. Hal ini dapat melahirkan keakraban dan hubungan emosional yang tinggi antara santri dengan kiainya, dan bahkan dengan orang tua atau wali santri.
3. Adanya tradisi kasih sayang, saling mencintai, saling menyayangi, dan saling menghormati antara sesama santri dan antara santri dengan kiainya. Hal ini merupakan acuan yang dijadikan standar utama di pondok pesantren
4. Adanya penanaman sikap percaya dan tanggung jawab yang tinggi kepada para santri, terutama kepada santri-santri yang telah lama belajarnya di pondok pesantren.
5. Adanya pembiasaan hidup bersama dalama mengerjakan suatu pekerjaan yang merupakan kepentingan bersama. Dalam kehidupan pesantren, santri sudah dilatih sejak dini untuk bekerjasama dengan sesama, seperti membuat jadwal petugas masak, jadwal petugas kebersihan kamar, dan lain-lain.
6. Adanya pembiasaan untuk hidup disiplin dalam menjalankan tugas dan kewajiban dengan tepat waktu, seperti dalam kegiatan pengajian, mudzakarah, peribadatan, pembiasaan shalat berjama’ah, dan kegiatan lainnya.
7. Adanya penanaman aspek kemandirian santri. Hal ini benar-benar ditekankan di pesantren. Segala macam keperluan santri harus dilakukan secara mandiri, jangan bergantung kepada orang lain. Seperti masak, mencuci, membersihkan ruangan, dan lain-lain.

C. Keberadaan Pesantren di Abad Modern
Sejak awal kehadirannya pesantren dengan sifatnya yang lentur (felxible) ternyata mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat serta memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu juga pada abad modern sekarang ini, pesantren senantiasa mengadakan inovasi dan rekonstruksi dalam segala hal yang berkenaan dengan pendidikan pesantren tanpa melunturkan jatidirinya sebagai pesantren.
Meskipun demikian, pesantren juga tidak luput dari berbagai kritik terhadap kelemahan pesantren, hal ini ditunjukkan kepada sebagian pesantren yang tetap mempertahankan ketradisionalannya, statis dan menutup diri dari keadaan zaman. Islam yang diajarkan oleh pondok pesantren seperti ini pada umumnya adalah Islam yang telah mengalami teror dan intimidasi musuh Islam, yakni Islam yang ritualistik dan sufistik, bahkan mengarah kepada feodalistik .
Untunglah, beberapa pondok pesantren cepat mengidentifikasi masalah ini, dan segera menyesuaikan diri, membuat diri mereka menjadi modern. Yang membuat mereka melakukan hal ini adalah dalam upaya menjawab tantangan zaman dan mengejar ketertinggalan, khususnya di bidang sosial kemasyarakatan. Karena walau bagaimanapun pesantren pada dasarnya tumbuh dan berkembang, dari, oleh dan untuk masyarakat.
Berbagai inovasi telah dilakukan untuk pengembangan pesantren baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Masuknya pengetahuan umum dan keterampilan ke dalam pesantren adalah sebagai upaya untuk memberikan bekal tambahan agar para santri bila telah menyelesaikan pendidikannya dapat hidup layak dalam masyarakat. Masuknya sistem klasikal dengan menggunakan sarana dan peralatan pengajaran madrasah sebagaimana yang berlaku di sekolah-sekolah bukan barang baru lagi bagi pesantren. Bahkan ada pesantren yang lebih cenderung membina dan mengelola madrasah-madrasah atau sekolah umum, baik tingkat dasar, menengah maupun perguruan tinggi.
Karena itulah akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan, yaitu:
1. Mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern.
2. Semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya.
3. Diverifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan keterbukaan dan ketergantungannya pun absolut dengan kiai, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja.
4. Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat .
Kendatipun demikian, pesantren masih tetap mempertahankan suatu sistem pengajaran tradisional yang menjadi ciri khasnya, yaitu sistem sorogan tampak dalam berbagai bentuk bimbingan individual, sedangkan cara bandungan tampak dalam kegiatan-kegiatan ceramah-ceramah umum, yang sekarang kegiatan seperti ini lebih dikenal dengan majelis ta’lim.
Pergerseran-pergeseran nilai yang terjadi menuntut pesantren untuk melakukan reorientasi tata nilai bentuk baru yang relevan dengan tantangan zamannya, tanpa kehilangan jati diri sebagai lembaga pendidikan Islam.

D. Penutup
Demikian uraian singkat mengenai keberadaan pesantren pada abad modern. Makalah sederhana ini, mudah-mudahan memberi manfaat dan sumbangan pemikiran yang berarti bagi kalangan pesantren dan lembaga pendidikan Islam pada umumnya.


DAFTAR PUSTAKA


Amsyari, Fuad. 1993. Masa Depan Umat Islam Indonesia. Al-Bayan, Bandung
Hasbullah. 2001. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: Raja Grapindo Persada.
Madjid, Nurcholish. 1985. Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Islam. dalam Dawam Rahardjo (ed.). Pergulatan Dunia Pesantren; Membangun dari Bawah. Jakarta: P3M.
------------------1997. Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina.
Malik, Jamaludin (ed.). 2005. Pemberdayaan Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Yasmadi 2005. Modernisasi Pesantren. Ciputat: Quantum Teaching

Tidak ada komentar:

Posting Komentar