Terima Kasih Atas Kunjungannya

Kamis, 27 Mei 2010

SISTEM PEMBELAJARAN PONDOK PESANTREN SALAF

A. Pendahuluan
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang religius Islami dan merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Pada awal didirikannya, pesantren tidak semata-mata ditujukan untuk memperkaya pikiran santri (murid), tetapi meninggikan moral (akhlak), melatih mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan mempersiapkan para santri untuk hidup sederhana serta bersih hati. Setiap santri dibiasakan agar menerima etika agama di atas etika-etika lain.
Pondok pesantren memiliki karakteristik unik dari lembaga-lembaga pendidikan lainnya, dan karekateristik ini tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain selain pesantren. Jika ada pun, itu hanya merupakan hasil adopsi dari lembaga pendidikan pesantren.
Keunikan lain yang dimiliki pesantren adalah dalam sistem pembelajarannya yang masih tetap mempertahankan sistem pendidikan tradisional (salaf), walaupun keberadaan tipologi pesantren pada saat ini telah mengalami perubahan, sehingga ada yang dinamakan pondok pesantren salaf dan pesantren khalaf (modern dan atau komprehensif). Akan tetapi, dengan pergeseran nama dan tipologi pesantren tersebut, pada setiap pesantren apapun tipologinya, sistem pendidikan tidak serta merta dihapuskan, paling tidak ditambah, seperti pada jenis pesantren khalaf (modern dan atau komprehensif).

B. Karakteristik Pondok Pesantren Salaf
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan memiliki karakteristik atau ciri khas, yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya. Sarijo dalam Sejarah Pesantren, (t.t. : 9) mengatakan bahwa, pesantren memiliki unsur-unsur minimal:
1) kiai yang mendidik dan mengajar;
2) santri yang belajar; dan
3) masjid.
Mujamil Qomar, (t.t.:19) menganalisa bahwa, tiga unsur pesantren ini mewarnai pesantren pada awal berdirinya atau bagi pesantren-pesantren kecil yang belum mampu mengembangkan fasilitasnya. Lebih lanjut Mujammil mengatakan, unsur pesantren dalam bentuk segitiga tersebut mendeskripsikan kegiatan belajar mengajar keislaman yang sederhana. Kemudian pesantren mengembangkan fasilitas-fasilitas belajarnya sebab tuntutan perubahan sistem pendidikan sangat mendesak serta bertambahnya santri yang belajar dari kabupaten atau propinsi lain yang membutuhkan tempat tinggal. Berkenaan dengan hal tersebut, Zamakhsyari Dhofier, (1982:44-45) mengatakan, ada lima unsur pondok pesantren yang melekat atas dirinya yang meliputi: masjid, pondok, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, santri dan kiai.

1. Masjid
Di dunia pesantren masjid dijadikan ajang atau sentral kegiatan pendidikan Islam baik dalam pengertian modern maupun tradisional. Dalam konteks yang lebih jauh masjidlah yang menjadi pesantren pertama, tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar adalah masjid. Dapat juga dikatakan masjid identik dengan pesantren. Seorang kiai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya (Zamakhsyari Dhofier, 1985:49)
Masjid memiliki fungsi ganda, selain tempat shalat dan ibadah lainnya juga tempat pengajian terutama yang masih memakai metode sorogan dan wetonan (bandongan). Posisi masjid di kalangan pesantren memiliki makna sendiri (Mujamil Qomar, t.t.:21) Menurut Abdurrahman Wahid dalam Majalah Santri (1997:51) mengatakan bahwa, masjid sebagai tempat mendidik dan menggembleng santri agar lepas dari hawa nafsu, berada di tengah-tengah komplek pesantren adalah mengikuti model wayang. Di tengah-tengah ada gunungan. Singkatnya, masjid di dunia pesantren difungsikan untuk beribadah dan tempat mendidik para santri. Juga, sebagai ciri khas lembaga pendidikan pesantren.

2. Pondok
Fenomena pondok pada pesantren merupakan sebagian dari gambaran ksederhanaan yang menjadi ciri khas dari kesederhaan santri di pesantren. Seperti ungkapan Imam Bawani, (1993:95), pondok-pondok dan asrama santri tersebut adakalanya berjejer laksana deretan kios di sebuah pasar. Di sinilah kesan kekurangteraturan, kesemerawutan dan lain-lain. Tetapi fasilitas yang amat sederhana ini tidak mengurangi semangat santri dalam mempelajari kitab-kitab klasik.
Pondok bukanlah ‘asrama’ atau ‘internaat’. Jika asrama telah disiapkan bangunannya sebelum calon penghuninya datang. Sedang pondok justtru didirikan atas dasar gotong -royong yang telah belajar di pesantren. Dari uraian Zuhri tadi, dapat dikatakan, bahwa asrama dibangun dari kalangan berada dengan persiapan dan persediaan dana yang relatif memadai, sedang pondok dibangun dari kalangan rakyat biasa yang dibangun didasarkan pada desakan kebutuhan.
Tatanan bangunan pondok pesantren menggambarkan bagaimana kiai atau wasilun (orang yang sudah mencapai pengetahuan tentang ketuhanan) berada di depan santri-santri yang masih salik (menapak jalan) mencari ilmu yang sempurna (Abdurrahman Wahid, t.t.:51), kalau dalam istilah Ki Hajar Dewantoro, bahwa komposisi bangunan pondok pesantren melambangsan posisi kiai sebagai ing ngarso sung tulodo atau dalam bahasa al-Quran dikenal dengan istilah uswatun hasanah.


3. Pengajaran kitab-kitab klasik
Kitab-kitab klasik biasanya dikenal dengan istilah kitab kuning yang terpengaruh oleh warna kertas. Kitab-kitab itu ditulis oleh ulama zaman dulu yang berisikan tentang ilmu keislaman seperti: Fiqh, hadits, tafsir maupun tentang akhlak. Ada dua esensinya seorang santri belajar kitab-kitab tersebut, di samping mendalami isi kitab maka secara tidak langsung juga mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa kitab tersebut. Oleh karena itu seorang santri yang telah tamat belajarnya di pesantren cenderung memiliki pengetahuan bahasa Arab. Hal ini menjadi ciri seorang santri yang telah menyelesaikan studinya di pondok pesantren, yakni mampu memahami isi kitab dan sekaligus juga mampu menerapkan bahasa kita tersebut menjadi bahasanya (M. Bahri Ghazali, 2001:24)
Penggalian khazanah budaya Islam melalui kitab-kitab klasik salah satu satu unsur yang terpenting dari keberadaan sebuah pesantren dan yang membedakannya dengan lembaga pendidikan yang lainnya. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional tidak dapat diragukan lagi berperan sebagai pusat transmisi dan desiminasi imu-ilmu keislaman, terutama yang bersifat kajian-kajian klasik. Maka pengajaran “kitab-kitab kuning” telah menjadi karakteristik yang merupakan ciri khas dari proses belajar mengajar di pesantren (Faisal Ismail, 1997:116-117)


4. Santri
Istilah santri hanya terdapat di pesantren sebagai pengejawantahan adanya peserta didik yang haus akan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang kiai yang memimpin sebuah pesantren. Oleh karena itu santri pada dasarnya berkaitan erat dengan keberadaan kiai dan pesantren (M. Bahri Gahzali, 2001:22-23)
Menurut Zamakhsyari Dhofier, (1985:51-52) di dalam proses belajar mengajar di pesantren santri terbagi atas dua tipe, yaitu:

1) Santri Mukim
Santri mukim yaitu santri yang menetap, tinggal bersama kiai dan secara aktif menuntut ilmu dari seorang kiai. Dapat juga sebagai pengurus pesantren yang ikut bertanggung jawab atas keberadaan santri lain. Menurut Nurcholis Madjid, (1997:52) santri mukim ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren.
Menurut Zamakhsyari, (1985:51) ada dua motif seorang santri menetap sebagai santri mukim, yaitu:
­ Motif menuntut ilmu; artinya santri itu datang dengan maksud menuntut ilmu dari kiainya.
­ Motif menjunjung tinggi akhlak; artinya seorang santri belajar secara tidak langsung agar santri tersebut setelah di pesantren akan memiliki akhlak terpuji sesuai dengan akhlak kiainya.
2) Santri kalong
Santri kalong pada dasarnya adalah seorang murid yang berasal dari desa sekitar pondok pesantren yang pola belajarnya tidak dengan jalan menetap di dalam pesantren, melainkan semata-mata belajar dan secara langsung pulang ke rumah setelah belajar di pesantren (Zamakhsyari, 1985:52) Sejalan dengan Zamakhsyari, Nurcholis Madjid, 1997:52) mengatakan bahwa santri kalong ialah santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren. Mereka pulah ke rumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.
Sebuah pesantren yang besar didukung oleh semakin banyaknya santri yang mukim dalam pesantren di samping terdapat pula santri kalong yang tidak banyak jumlahnya (M. Bahri Ghazali, 2001:23).


5. Kiai
Kiai di samping pendidik dan pengajar, juga pemegang kendali manjerial pesantren. Bentuk pesantren yang bermacam-macam adalah pantulan dari kecenderungan kiai. Kiai memiliki sebutan yang berbeda-beda tergantung daerah tempat tinggalnya (Mujamil Qomar, t.t.:20) Ali Maschan Moesa, (1999:60) mencatat: di Jawa disebut Kiai, di Sunda disebut Ajengan, di Aceh disebut Teungku, di Sumatera/Tapanuli disebut Syaikh, di Minangkabau disebut Buya, di Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah disebut Tuan Guru.
Chozin Nasuha dalam Marzuki Wahid, Suwendi dan Saefudin Zuhri, (1999:264) Kiai disebut alim bila ia benar-benar memahami, mengamalkan dan memfatwakan kitab kuning. Kiai demikian ini menjadi panutan bagi santri pesantren, bahkan bagi masyarakat Islam secara luas. Akan tetapi dalam konteks kelangsungan pesantren kiai dapat dilihat dari berbagai perspektif lainnya. Muhammad Tholchah Hasan, (1997:20) melihat kiai dari empat sisi yakni kepemimpinan ilmiah, spiritualitas, sosial, dan administrasi. Jadi ada beberapa kemampuan yang mestinya terpadu pada pribadi kiai dalam kapasitasnya sebagai pengasuh dan pembimbing santri (Mujamil Qomar, t.t:20)

C. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Salaf
1. Sorogan
Sistem dan pengajaran dengan pola sorogan dilaksanakan dengan jalan santri yang biasanya pandai menyorogkan sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca di hadapan kiai itu. Dan kalau ada salahnya, kesalahan itu langsung dibetulkan oleh kiai itu. Di pesantren besar sorogan dilakukan oleh dua atau tiga orang santri saja, yang biasa terdiri dari keluarga kiai atau santri-santri yang diharapkan kemudian hari menjadi orang alim (Djaelani, 1980:54).
Metode sorogan merupakan sistem metode yang ditempuh dengan cara guru menyampaikan pelajaran kepada santri secara individual, biasanya di samping di pesantren juga dilangsungkan di langgar, masjid atau terkadang malah di rumah-rumah. Di pesantren, sasaran metode ini adalah kelompok santri pada tingkat rendah yaitu mereka yang baru menguasai pembacaan al-Quran. Melalui sorogan, perkembangan intelektual santri dapat ditangkap kiai secara utuh. Dia dapat memberikan tekanan pengajaran kepada santri-santri tertentu atas dasar observasi langsung terhadap tingkat kemampuan dasar dan kapasitas mereka. Sebaliknya, penerapan metode sorogan menuntut kesabaran dan keuletan pengajar. Santri dituntut memiliki disiplin tinggi. Di samping aplikasi metode ini membutuhkan waktu lama, yang berarti kurang efektif dan efesien (Zamakhsyari Dhofier, 1984:28).

2. Wetonan atau Bandongan
Metode wetonan atau bandongan adalah metode yang paling utama di lingkungan pesantren. Metode wetonan (bandongan) ialah suatu metode pengajaran dengan cara guru membaca, menterjemahkan, menerangkan dan menulis buku – buku Islam dalam bahasa Arab sedang sekelompok santri mendengarkan.mereka memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan–catatan (baik arti maupun keterangan ) tentang kata–kata atau buah pikiran yang sulit (Zamakhsyari Dhofier, 1984:28).
Penerapan metode tersebut mengakibatkan santri bersikap pasif. Sebab kreativitas dalam proses belajar mengajar didominasi ustadz atau kiai, sementara santri hanya mendengarkan dan memperhatikan keterangannya. Dengan kata lain, santri tidak dilatih mengekspresikan daya kritisnya guna mencermati suatu pendapat. Wetonan dalam prakteknya selalu berorentasi pada pemompaan materi tanpa melalui kontrol tujuan yang tegas. Dalam metode ini, santri bebas mengikuti pelajaran karena tidak diabsen. Kiai sendiri mungkin tidak mengetahui santri–santri yang tidak mengikuti pelajaran terutama jumlah mereka puluhan atau bahkan ratusan orang. Ada peluang bagi sanrti untuk tidak mengikuti pelajaran. Sedangkan santri yang mengikuti pelajaran melalui wetonan ini adalah mereka yang berada pada tingkat menengah (Menurut Mujamil Qomar, t.t.:143).
Metode sorogan dan wetonan sama-sama memiliki ciri pemahaman yang sangat kuat pada pemahaman tekstual atau literal (Husein Muhammad, 1999:281) Akan tetapi, bukan berarti metode sorogani dan bandongan tidak memiliki kelebihan sama sekali. Ada hal-hal tertentu yang dirasakan sebagai kelebihannya.
Ismail SM, (2002:54) merasakan bahwa metode sorogan secara didaktik-metodik terbukti memiliki efektivitas dan signifikansi yang tinggi dalam mencapai hasil belajar. Sebab metode ini memungkinkan kiai/ustadz mengawasi, menilai, dan membimbing secara maksimal kemampuan santri dalam menguasai materi. Sedangkan efektivitas metode bandongan terletak pada pencapaian kuantitas dan percepatan kajian kitab, selain juga untuk tujuan kedekatan relasi santri-kiai/ustadz.
Kedua metode tersebut sebenarnya merupakan konsekuesi logis dari layanan yang sebesar-besarnya kepada santri. Berbagai usaha pembaharuan dewasa ini dilakukan justru mengarah pada layanan secara individual kepada peserta didik. Metode sorogan justeru mengutamakan kematangan dan perhatian serta kecakapan seseorang. Adapun dalam bandongan, para santri memperoleh kesempatan untuk bertanya atau meminta penjelasan lebih lanjut atas keterangan kiai. Sementara catatan-catatan yang dibuat santri di atas kitabnya membantu untuk melakukan telaah atau mempelajari lebih lanjut isi kitab tersebut setelah pelajaran selesai.
Dalam dunia pesantren, santri yang cerdas dan memiliki kelebihan, dan mendapat perhatian istimewa dan didorong secara pribadi oleh kiai secukupnya. Semua santri mendapat perhatian yang seksama dari kiai. Tingkah laku moralnya secara teliti diperhatikan. Santri diperlakukan sebagai makhluk terhormat, sebagai titipan Tuhan yang harus disanjung. Kepada santri ditanamkan perasaan tanggung jawab untuk melestarikan dan menyebarkan pengetahuan mereka tentang Islam kepada orang lain, mencurahkan waktu dan tenaga untuk belajar terus-menerus sepanjang hidup, dan mengamalkan ilmu merupakan kewajiban dan ibadah. Kepandaian berpidato dan berdebat dikembangkan untuk melatih daya kritis dan kreatif pada santri.
Untuk lebih mengembangkan pengetahuan para santri dan sebagai evaluasi keberhasilan santri, maka santri yang dianggap sudah senior atau memiliki pengetahuan yang memadai diangkat oleh kiai sebagai badal (pengganti) jika kiainya berhalangan.
Di beberapa pesantren santri yang memiliki kelebihan potensi intelektual (santri senior) sekaligus merangkap tugas mengajar santri-santri yunior. Santri ini memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu. “Santari-santri memberikan penghormatan yang berlebihan kepada kiainya”. Perbuatan seperti ini di dunia pesantren merupakan konsekuensi cerminan santri yang memiliki pengetahuan tinggi, dia harus memiliki etika dan akhlak yang lebih baik dari pada santri-santri yunior, karena mereka merupakan suri tauladan setelah kiai.

D. Penutup
Sebagai rangkaian akhir dari pembahasan makalah ini, penulis akan menyampaikan sebuah keyakinan kepada pembaca, bahwa pesantren telah membuktikan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang telah banyak mencetak kader bangsa yang berilmu dan berakhlak mulia. Namun, saat ini ada sebuah gejala di masyarakat luas, yaitu gejala menjauhi pendidikan yang berbasis agama, semuanya berkiblat ke Barat. Hal ini disebabkan oleh faham materialistik yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, pesantren mulai ditinggalkan, dan yang kejar adalah lembaga pendidikan yang menjanjikan lulusannya cepat mendapatkan uang. Akibatnya, banyak sekarang orang pintar tapi miskin moral. Sudah saatnya masyarakat untuk kembali kepada moral dengan mempercayakan pendidikannya kepada dunia pesantren.

DAFTAR PUSTAKA

Bawani, Imam. 1993. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam Studi Tentang Daya Tahan Pesantren Tradisional. Surabaya: Al-Ikhlas.

Dhofier, Zamakhsyari, 1985, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup,Jakarta: LP3ES.

Fathurrahman, Pupuh, 2000, Keunggulan Pendidikan Pesantren; Alternatif Sistem Pendidikan Terpadu Abads XXI, Bandung: Tunas Nusantra.

Ghazali, Bahri, M., Dr., MA., 2001, Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan, Jakarta: Pedoman Ilmu.

Hasan, Muhammad Tolhah. 1996. “Pondok Pesantren dan Sistem Pendidikan Nasional”, Santri, No. 03, Agustus.

Hasbullah. 1995. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan bdan Perkembangan. Jakarta: LISK.

Moesa, Ali Maschan. 1999. Kiai dan Politik dalam wacana Civil Society. Surabaya: LEPKISS.

Qomar, Mujamil, Prof., Dr., M.Ag., t.t., Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga.

Sistem Pendidikan Islam di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Muhammad Ibn Abdillah, memang keturunan bangsawan Arab tetapi pada saat ia menerima pesan Allah dalam bentuk wahyu, ia adalah seorang pemuda huruf (ma’sum). Lantaran “.(Dia, Allah) yang mengajarkan manusia dari apa yang tidak diketahuinya” (Q.S. al-‘Alaq [96]:”4), sehingga beliau mampu mendidik masyarakat yang telah dan menjadi pintar baca-tulis. Karenanya sungguh ironis, pendidikan Islam yang dilakukan oleh seorang ma'sum mampu menyadarkan para pakar yang pintar lagi shadiq dari berbagai belahan dunia. Unik memang, orang yang tidak cakap baca tulis (ma'sum) dalam menyampaikan ajarannya mampu membaca keadaann sistem pengajaran yang disampaikannya lebih mengutamakan dan menyesuaikan diri dengan kemampuan dan kemampuan masyarakat Arab yang melestarikan tradisi lisan.
Bagi masyarakat yang sebagian besar buta huruf dan bertradisi lisan, menerima pesan-pesan Allah swt. merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Sebab, pesan-pesan Allah yang disampaikan kepadanya, lebih menekankan kepada selain keesaan dan keagungan Allah juga menghargai ketinggian nilai belajar. Pada saat yang sama, beliau bukanlah seorang pendidik yang arogan, ia memilih beberapa muridnya yang dianggap telah cakap dan mampu dalam baca-tulis pesan-pesan Allah, untuk diberi kepercayaan sebagai guru dan juru dakwah ke berbagai pelosok daerah, mengajarkan tentang pesan-pesan Allah dan kerasulan Muhammad saw.
Salah satu bentuk pembelajaran yang sering dilakukan Rasulullah Muhammad Saw. itu adalah bertempat di kediaman salah seorang sahabat yang bernama Arqam. Karena ta'lim sering dilaksanakan di rumah Arqam, maka lama kelamaan bentuk ta'lim seperti ini disebut Dar al-Arqam. Sehingga beberapa pakar dan pemerhati pendidikan menuliskan bahwa lembaga pendidikan Islam pertama yaitu Dar al-Arqam yang berarti rumah atau tempat kediaman Arqam, maksudnya yaitu pembelajaran di rumah Arqam. Ta'lim yang dilakukan Rasulullah itu kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, tabiit dan generasi berikutnya.
Pengajaran dalam berbagai bentuk terus tumbuh dan berkembang pada masa Khalifah Rasyidin, masa Bani Umayah dan masa Bani Abbasiyah, serta masa-masa selanjutnya. Sistem pendidikan yang dijalankan pada masa Rasulullah saw. dan generasi sesudahnya banyak mewarnai sistem pendidikan Islam di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut makalah ini akan mencoba membahas sistem pendidikan Islam di Indonesia.

B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah yang diajukan dalam makalah ini adalah “Bagaimanakah sistem pendidikan Islam di Indonesia?”

C. Tujuan Makalah
Tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui sistem pendidikan Islam di Indonesia.

D. Prosedur Makalah
Prosedur yang ditempuh dalam pembuatan makalah ini adalah penentuan metode dan teknik pengumpulan data. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis, yaitu suatu cara untuk memecahkan suatu masalah yang ada dengan cara menyusun, menginterpretasikan dan menyimpulkan data tersebut. Adapun teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah library research, yakni prosedur penelitian dengan cara mengumpulkan data yang di dalamnya meliputi kegiatan, penseleksian data, pengkajian data, pengklasifikasian data dan yang terakhir adalah analisis data.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Mesjid (Langgar, Surau, Mushallah, Meunasah)
Secara harfiah, mesjid diartikan sebagai tempat duduk atau setiap tempat yang dipergunakan untuk beribadah. Mesjid juga berati “tempat shalat berjamaah” atau tempat shalat untuk umum (orang banyak).
Mesjid memegang peranan penting dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, karena mesjid merupakan sarana yang pokok dan mutlak keperluannya bagi perkembangan masyarakat Islam.
Sistem pendidikan mesjid atau langgar dan/atau semisalnya memiliki peran penting dalam pendidikan Islam di Indonesia, dan bahkan sistem pendidikan di mesjid atau langgar dianggap sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia sebelum adanya pesantren kemudiannya.
Al-Abdi dalam bukunya, “Almadlehal” menyatakan bahwa mesjid merupakan tempat terbaik untuk kegiatan pendidikan. Dengan menjadikan lembaga pendidikan dalam mesjid akan terlihat hidupnya sunah-sunah Islam, menghilangkan bid’ah-bid’ah, mengembangkan hukum-hukum Tuhan, serta menghilangnya stratifikasi rasa dan status ekonomi dalam pendidikan. Maka dengan demikian mesjid sudah merupakan lembaga kedua setelah keluarga, yakni jenjang pendidikannya terdiri dari sekolah menengah dan sekolah tinggi dalam waktu yang sama.
Oleh sebab itu, implikasi mesjid sebagai lembaga pendidikan Islam adalah:
a. Mendidikan anak untuk tetap beribadah kepada Allah SWT.
b. Menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan, dan menanamkan solidaritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajibannya sebagai insan pribadi, sosial dan warga negara.
c. Memberi rasa ketentraman, kekuatan, kemakmuran potensi-potensi rohani manusia melalui pendidikan kesabaran, keberanian, kesadaran, perenungan, optimisme, dan pengadaan penelitian.
Pada tahap-tahap awal, sebenarnya penyelenggaraan pendidikan antara langgar atau surau dibedakan dengan mesjid, di mana pendidikan di surau atau langgar adalah pendidikan tingkat dasar yang biasa disebut sebagai pengajian al-Quran. Kemudian pendidikan dan pengajaran di tingkat lanjutan disebut pengajian kitab, dan diselenggarakan di mesjid. Sementara itu, pada sebagai daerah surau atau langgar berfungsi sebagai pesantren.
Dengan demikian, di surau atau langgar dan mesjid pada masa lalu (sebelum timbul dan berkembangnya madrasah), telah diselenggarakan dua macam strata pendidikan, yaitu pendidikan dasar, yang disebut pengajian al-Quran, pendidikan ini berada di bawah bimbingan guru mengaji al-Quran. Dan yang kedua adalah pendidikan tingkat lanjutan yang disebut Guru Kitab.

B. Pondok Pesantren
Pesantren merupakan “Bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia, didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman, hal ini bisa dilihat dari perjalanan sejarah, di mana bila dirunut kembali, sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama atau da’i.
Keberadaan pondok pesantren sebagai basis penyebaran agama Islam di Indonesia telah berjalan selama berabad-abad lamanya. Secara pasti tidak pernah diketahui kapan pertama kali pola pendidikan semacam pesantren ini dimulai. Memang, banyak ilmuwan yang bersilang pendapat tentang hal ini. Namun demikian, hasil penelitian telah menduga bahwa benih-benih kemunculan pondok pesantren sebagai pusat penyebaran dakwah sekaligus sebagai pusat pengkaderan ulama, sudah ada sejak zaman Walisanga, yaitu sekitar abad 15 M.
Pada masa awal kelahirannya, pondok pesantren tidaklah selengkap saat ini, di mana ada lokal-lokal khusus tempat para santri tinggal, ada tim pengurus, ada sistem administrasi, lengkap dengan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi oleh para santri. Diduga bahwa proses tumbuhnya suatu pesantren di masa lalu, terutama di masyarakat pedesaan, dimulai dengan adanya pengakuan suatu lingkungan masyarakat tertentu terhadap seseorang yang memiliki kelebihan di bidang ilmu agama (Islam) dan diakui keshalihannya dalam kehidupan keseharian, sehingga penduduk lingkungan itu banyak yang datang kepadanya untuk belajar agama. Analisis lebih jauh, bahwa keberadaan sebuah pondok pesantren secara utuh dengan memenuhi kriteria adanya kiai, santri, gedung tempat tinggal, dan kitab yang dibacakan, baru ditemukan sekitar abad 18, tepatnya pada masa Pemerintahan Pakubuwono II.
Sumber lain mengatakan, bahwa sebagai institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren memiliki akar sejarah yang jelas. Orang yang pertama kali mendirikan pesantren dapat dilacak, meskipun masih ada perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah. Sebagian menyebutkan Syaikh Maulana Malik Ibrahim dari Gujarat, India, sebagai pendiri pesantren pertama di Pulau Jawa. Ada juga yang menyebut Sunan Ampel atau Raden Rahmat sebagai pendiri pesantren pertama di Surabaya. Dan ada juga yang menyebut Sunan Gunung Djati sebagai pendiri pesantren pertama di Cirebon, Jawa Barat.
Lembaga Research Islam mengatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim sebagai peletak dasar sendi-sendi berdirinya pesantren, mengingat bahwa dia adalah orang yang pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia, khususnya di Pula Jawa. Sedangkan Sunan Ampel sebagai wali pembina pertama pondok pesantren di Jawa Timur. Adapun Sunan Gunung Djati, mungkin dia adalah orang yang pertama kali mendirikan pesantren di Jawa Barat, khususnya di Cirebon.
Sebagai model pendidikan yang memiliki karakter khusus, sistem pendidikan pesantren telah mengundang spekulasi yang bermacam-macam. Teori pertama menyebutkan bahwa pondok pesantren merupakan bentuk tiruan dari sistem pendidikan Hindu dan Budha yang telah ada di Indonesia sebelum Islam datang. Teori kedua menyatakan bahwa model pendidikan pesantren berasal dari sistem pendidikan di India. Pencetus teori kedua ini mengemukakan alasan bahwa secara terminologis, pendidikan pesantren dilihat dari bentuk dan sistemnya berasal dari India, karena istilah pesantren sendiri seperti halnya mengaji bukan berasal dari Islam, melainkan dari istilah yang yang terdapat di India. Di samping alasan terminologis di atas, persamaan bentuk antara pendidikan Hindu di India dan pesantren di Indonesia juga bisa dianggap sebagai petunjuk untuk menjelaskan asal usul pendidikan pesantren. Teori ketiga mengatakan bahwa model pondok pesantren berasal dari sistem pendidikan di Bagdad. Teori keempat menilai bahwa sistem pendidikan pondok pesantren merupakan perpaduan antara tiga sistem pendidikan; Sistem pendidikan Timur Tengah, sistem pendidikan India, dan sistem pendidikan tradisi lokal yang lebih tua (Indonesia).
Dari teori-teori di atas, teori yang terakhir yang menyatakan bahwa sistem pendidikan pondok pesantren merupakan perpaduan antara sistem Timur Tengah, sistem India, dan sistem tradisi Indonesia nampaknya lebih mudah difahami, mengingat bahwa ketiga tempat tersebut merupakan arus utama dalam mempengaruhi terbentuknya sistem pendidikan pesantren. Timur Tengah (Arab), merupakan tempat kelahiran Islam telah mengilhami segala bentuk pengajaran dan pendidikan Islam. India, merupakan kawasan yang menjadi daerah translit para penyebar Islam pada masa lalu. Sedangkan Indonesia adalah daerah yang menjadi sasaran dakwah yang pada saat Islam masuk, negara ini masih didominasi oleh sistem pendidikan Hindu-Budha yang sedikit banyak mewarnai bahwan dijadikan pertimbangan dalam membangun sistem pendidikan pesantren.
Pada awal rintisannya, pesantren bukan hanya menekankan misi pendidikan, melainkan juga misi dakwah, bahkan justru misi dakwah ini yang lebih menonjol. Lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia ini selalu mencari lokasi yang sekiranya dapat menyalurkan dakwah secara tepat sasaran, sehingga sering terjadi benturan antara nilai-nilai yang dibawa oleh pesantren dan budaya yang telah berakar kuat di masyarakat. Pesantren berjuang melawan berbagai kemungkaran yang melekat di masyarakat, seperti takhayyul, bid’ah, khurafat, dan berbagai perbuatan maksiat seperti perkelahian, perampokan, pelacuran, perjudian, dan sebagainya. Dengan demikian, pesantren tampil dengan membawa misi agama tauhid serta mengubah masyarakat menjadi masyarakat yang aman, tentram, dan rajin beribadah.
Selain itu, terkadang pesantren menghadapi penyerangan dari pihak penguasa yang merasa tersaingi kewibawaannya. Namun pesantren berkembang terus sambil menghadapi rintangan demi rintangan, sehingga pada tahap berikutnya, pesantren diterima oleh masyarakat sebagai upaya untuk mencerdaskan dan meningkatkan kedamaian, sehingga tidak sedikit jika kemudian pesantren menjadi kebanggaan masyarakat sekitarnya.
Akan tetapi, setelah masuknya kolonial Belanda ke Indonesia, pesantren harus berhadapan dengan tindakan tirani kaum imperialis yang menguasai Indonesia selama tiga setengah abad ini. Di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, hampir setiap desa memiliki pondok pesantren, baik pesantren salafiyah maupun khalafiyah. Lembaga ini tumbuh sejalan dengan pergerakan perjuangan muslimin Indonesia ketika melawan penjajah Belanda. Bahkan konon, pondok pesantren merupakan basis-basis perlawanan dari para pejuang kita.
Kaum imperialis ini selain menguasai politik, ekonomi, dan militer, juga mengemban misi penyebaran agama kristen. Bagi Belanda, pesantren merupakan antitesis terhadap gerakan kristenisasi dan upaya pembodohan masyarakat. Maka penjajah Belanda berupaya menghalang-halangi perkembangan agama Islam dan membatasi ruang gerak pesantren, sehingga pesantren tidak dapat berjalan dengan normal. Akhirnya pesantren banyak memilih tempat kegiatannya di desa-desa yang jauh dari jangkauan kaum penjajah.
Kebencian Belanda terhadap berkembangnya ajaran Islam di Indonesia terbukti dengan munculnya ordonansi 1882 tentang pengawasan pengajaran agama di pesantren, ordonansi 1905 tentang pengawasan pesantren dan izin bagi guru-guru agama yang akan mengajar, ordonansi 1925 tentang pembatasan kiai tertentu yang boleh memberikan pelajaran mengaji, dan ordonansi 1932 tentang larangan mendirikan sekolah liar seperti madrasah yang tidak disukai oleh pemerintah (kolonial), ditambah lagi dengan pencekalan terhadap kitab-kitab agama yang mampu mendinamisasikan pemikiran dan tindakan kaum santri seperti Risalah at-Tauhid, Tafsir al-Manar, Tafsir al-Jawahir, al-Qur’an wa al-Ulum al-‘Ashriyyah, dan lain-lain.
Kemudian pada awal penjajahan Jepang, pesantren berkonfrontasi dengan kaum imperialis baru lantaran penolakan KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang) yang kemudian diikuti oleh kiai-kiai yang lainnya terhadap Saikere (penghormatan terhadap Kaisar Jepang Tenno Haika sebagai keturunan dewa Amaterasu) dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap ke arah Tokyo setiap pagi pukul 07.00. Akibat dari penolakan tersebut, banyak kiai dan santri yang ditangkap dan dipenjara oleh Jepang, bahkan menjalani hukuman mati.
Baru pada masa awal kemerdekaan RI, pesantren merasakan ada nuansa baru. Kemerdekaan RI merupakan momentum bagi seluruh sistem pendidikan untuk berkembang lebih bebas, terbuka, dan demokratis. Masyarakat menyambut gembira atas munculnya era baru pendidikan yang belum dirasakan sebelumnya akibat tekanan-tekanan politik kaum imperialis. Maka lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat SD, SMP, dan SMA milik pemerintah mulai bermunculan. Proses pendidikan pun berjalan makin harmonis dan kondusif dengan tidak mengecualikan adanya berbagai kekurangan. Keinginan semua pihak dalam mencerdaskan bangsa dapat dipertemukan.
Belenggu pendidikan pada masa kolonial dapat dibongkar setelah proklamasi, kehausan pendidikan dapat disalurkan sepenuhnya pada masa kebebasan ini. Namun keadaan tersebut justru menjadi pukulan balik bagi pesantren, karena pada masa itu banyak pesantren yang tidak berfungsi lagi sebagai tempat pemondokan dan tempat belajar santri, karena tergeser oleh munculnya sistem pendidikan madrasah. Hanya pesantren-pesantren besar yang mampu bertahan dengan mengadakan penyesuaian dengan sistem pendidikan nasional. Adapun pesantren-pesantren kecil yang tidak mampu menyelenggarakan sistem pendidikan nasional semakin hari semakin berkurang santrinya sehingga pada akhirnya banyak pesantren mati dengan sendirinya. Namun demikian, pesantren-pesantren besar yang masih bertahan hidup, terus berupaya mempengaruhi dan membangkitkan pesantren-pesantren kecil yang mati, sehingga akhirnya pesantren yang menjadi andalan pendidikan Islam tradisional ini pulih kembali.
Kehidupan pesantren relatif normal kembali pada masa Orde Baru, meskipun pada masa tahun 1970-an nasib pesantren mulai terancam lagi. akibat suburnya sekularisasi. Tapi berkat pertolongan Allah, berbagai tantangan telah dihadapinya melalui langkah-langkah strategis, sehingga pesantren masih mampu bertahan sampai sekarang, bahkan diakui sebagai aset pembangunan.
Faktor-faktor yang menyebabkan ketahanan pesantren seperti diuraikan di atas adalah sebagai berikut: Pertama, pesantren adalah sebuah kehidupan yang unik, sebagaimana dapat disimpulkan dari gambaran lahiriyahnya bahwa pesantren adalah sebuah kompleks yang umumnya terpisah dari kehidupan di sekitarnya. Dalam lingkungan fisik yang demikian itu, diciptakan semacam cara kehidupan yang memiliki sifat dan ciri tersendiri. Kedua, pesantren sudah sangat melembaga di kalangan masyarakat, karena pesantren tumbuh dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Ketiga, pesantren secara umum berkembang di pulau Jawa, sedangkan kultur Jawa mampu menyerap kebudayaan luar tanpa harus kehilangan identitasnya. Keempat, pesantren memiliki jiwa dan semangat kewiraswastaan yang sangat kuat, kepribadian para kiai yang menonjol dengan ilmu dan visinya, dan pesantren dapat bertahan akibat dampak positif dari kemampuannya dalam melahirkan berbagai daya guna bagi masyarakat.

C. Madrasah
Dilihat dari akar katanya, Madrasah Diniyah terdiri dari dua suku kata, yaitu Madrasah dan Diniyah. Madrasah merupakan isim makan dari “darasa” yang berarti tempat duduk untuk belajar. Istilah ini sekarang telah menyatu dengan istilah sekolah atau perguruan (terutama perguruan Islam). Sementara itu Karel A. Steenbrink justru membedakan antara madrasah dan sekolah-sekolah, dia beralasan bahwa antara sekolah dan madrasah mempunyai ciri yang berbeda. Meskipun demikian, dalam konteks ini Hasbullah cenderung untuk menyamakan arti madrasah dengan sekolah. Diniyah merupakan bentuk kata benda dari kata dasar daana, yakni daana – yadiinu – diinan, artinya agama, , kemudian kata tersebut di beri ya nisbat, maka menjadi diniyyah, artinya keagamaan.
Dari penggabungan dua kata madrasah dan diniyah, maka secara bahasa Madrasah Diniyah dapat diartikan sebagai sekolah keagamaan. Sedangkan dilihat dari segi terminologi Madrasah Diniyah ialah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang berfungsi terutama untuk memenuhi hasrat orang tua agar anak-anaknya lebih banyak mendapat pendidikan agama Islam.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, mulai didirikan dan berkembang di dunia Islam sekitar abad ke-5 H. atau abad ke 10 – 11 M. Ketika penduduk Naisabur mendirikan lembaga pendidikan Islam model madrasah tersebut pertama kalinya. Akan tetapi tersiarnya justru melalui materi dari Kerajaan Bani Saljuk yang bernama Nizhamul Mulk yang mendirikan madrasah Nizhamiyah tahun 1065 M. yang oleh Gibb dan Kramers disebutkan, bahwa setelah madrasahnya Nizham al-Mulk ini didirikan madrasah terbesar oleh Salahuddin al-Ayyubi.
Pada saat itu Islam telah berkembang secara luas dalam berbagai macam ilmu pengetahuan, dengan berabagai macam aliran atau madzhab dan pemikirannya. Pembidangan ilmu pengetahuan tersebut, bukan hanya meliputi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Quran dan Hadits, seperti ilmu-ilmu al-Quran, hadits, fiqh, ilmu kalam, maupun ilmu tasawuf, tetapi juga bidang-bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika dan berbagai bidang ilmu alam dan kemasyarakatan.
Meskipun madrasah sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran di dunia Islam baru timbul sekitar abad ke-5 H. tidak berarti bahwa sejak awal perkembangannya, Islam tidak mempunyai lembaga pendidikan dan pengajaran. Islam datang dan mewarisi dari masyarakat bangsa Arab masa itu, ternyata jauh sebelum itu, yaitu pada zaman pemerintahan Bani Umayah, ummat Islam sudah mempunyai semacam lembaga pendidikan Islam yang disebut kuttab. Para guru yang mengajar pada kuttab ini pada mulanya adalah orang-orang non muslim, terutama orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena itulah pada pengajaran kuttab itu, oleh umat Islam hanya sebagai tempat belajar keterampilan membaca dan menulis saja, sedangkan untuk pengajaran al-Quran dan dasar agama Islam diberikan dan diajarkan di mesjid-mesjid oleh para guru khusus. Selanjutnya untuk kepentingan pengajaran menulis dan membaca bagi anak-anak, yang sekaligus juga memberikan pelajaran al-Quran dan dasar-dasar penegtahuan agama Islam, maka diadakanlah kuttab-kuttab yang terpisah dari mesjid agar anak-anak tidak mengganggu ketenangan dan kebersihan mesjid.
Berdasarkan kenyataan tersebut, bahwa pada awal pekembangan pendidikan Islam, telah terdapat dua jenis lembaga pendidikan dan pengajaran, yaitu: kuttab, yang mengajarkan kecakapan menulis dan membaca al-Quran serta dasar-dasar agama islam kepada anak-anak, dan merupakan pendidikan tingkat dasar. Sedangkan masjid, dalam bentuk halaqah, yang memberikan pendidikan dan pengajaran tentang berbagai macam ilmu pengetahuan masa itu, dan merupakan tingkat pendidikan lebih lanjut.
Berasal dari halaqah-halaqah mesjid inilah yang kemudian melahirkan ulama-ulama besar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan agama Islam, dan dari sini pula timbulnya madzhab-madzhab atau aliran-aliran dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, yang pada masa itu dikenal dengan istilah “Madrasah”. Melalui halaqah ini para ulama dari berbagai madzhab mengembangkan ajaran-ajarannya. Berabagi cabang ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu, diajarkan di mesjid. Mesjid pada masa itu adalah sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran yang utama dalam dunia Islam.
Dalam rangka menampung halaqah yang semakin banyak, sejalan dengan meningkatnya jumlah pelajar dan bidang ilmu pengetahuan yang diajarkan, maka dibangun ruang-ruang khusus untuk kegiatan halaqah-halaqah tersebut di sekitar mesjid, kemudian pada perkembangan selanjutnya adalah dibangunnya ruangan khusus untuk para guru dan pelajar, sebagai tempat tinggal dan tempat kegiatan belajar mengajar setiap hari secara teratur, yang disebut Zawiyah atau ribath. Pada mulanya bangunan-bangunan tersebut berada di sekitar masjid, tetapi dalam perkembangan selanjutnya banyak Zawiyah yang dibangun sendiri.
Lahirnya madrasah-madrasah di dunia Islam, pada dasarnya merupakan usaha pengembangan dan penyempurnaan zawiyah-zawiyah tersebut, dalam rangka menampung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan jumlah pelajar yang semakin meningkat.
Sistem pendidikan agama Islam mengalami perubahan sejalan dengan perubahan zaman dan pergeseran kekuasaan di Indonesia. Kejayaan Islam yang mengalami kemunduran jatuhnya Andalusia, mulai bangkit kembali dengan munculnya pembaharuan Islam. Sejalan dengan itu pemerintah jajahan (Belanda) mulai mengenalkan sistem pendidikan formal yang lebih sistematis dan teratur yang mulai menarik kaum muslimin untuk memasukinya. Oleh karena itu, sistem pendidikan Islam di surau, langgar atau masjid atau tempat lain yang semacamnya, dipandang sudah tidak memadai lagi dan perlu diperbaharui dan disempurnakan. Jadi keinginan untuk membenahi, memperbaharui dan menyempurnakan sistem pendidikan Islam ini disebabkan oleh dua hal:
1. Semakin banyaknya kaum muslimin yang bisa menunaikan ibadah haji ke Makkah dan belajar agama di sana, maka setelah pulang kembali ke tanah air Indonesia timbullah keinginan untuk mempraktekkan cara-cara penyelenggaran pendidikan pengajaran Islam seperti di Makkah, yang pada waktu itu mulai bangkit kembali yang dipelopori oleh Syekh Moh. Abduh, Syekh Moh. Rasyid Ridha, dan lain-lain.
2. Pengaruh sistem pendidikan Barat yang mempunyai program yang lebih terkoordinir dan sistematis yang ternyata telah berhasil mencetak manusia terampil dan terdidik yang semakin jauh dari ajaran Islam .
Realisasi dari dorongan-dorongan dan latar belakang di atas, mulailah diadakan usaha-usaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada. Pendidikan Islam di surau, langgar, masjid dan tempat-tempat lain yang semacamnya disempurnakan menjadi madrasah.
Sebagai madrasah yang pertama di Indonesia adalah Madrasah Adabiyah di Padang (Sumatera Barat), yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Madrasah Adabiyah ini pada mulanya bercorak agama semata-mata, namun kemudian pada tahun 1915 berubah coraknya menjadi HIS (Holand Inland (School) Adabiyah HIS. HIS Adabiyah merupakan sekolah pertama yang memasukkan pelajaran umum ke dalamnya. Selanjutnya pada tahun 1910 didirikan Madrasah School (Sekolah Agama) yang dalam perkembangannya berubah menjadi Diniyyah School (Madrasah Diniyah). Dan nama Diniyah School inilah yang kemudian berkembang dan terkenal.
Setelah itu Madrasah Diniyah berkembang hampir di seluruh Indonesia, baik merupakan bagian dari pesantren maupun surau, ataupun berdiri di luarnya. Pada tahun 1918 di Yogyakarta berdiri Madrasah Muhammadiyah (Kweekchool Muhammadiyah) yang kemudian menjadi Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, sebagai realisasi dari cita-cita pembaharuan Pendidikan Islam yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan.
Sebelumnya pada tahun 1916 di lingkungan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang (Jawa Timur), telah didirikan Madrasah Salafiah oleh K.H. Hasyim Asy’ari, sebagai persiapan untuk melanjutkan pelajaran ke pesantren pada tahun 1929 atas usaha Kiai Ilyas, diadakan pembaharuan dengan memasukkan pengetahuan umum pada madrasah tersebut.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa permulaan abad ke-20 merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan madrasah hampir di seluruh Indonesia, dengan nama dan tingkatan yang bervariasi. Namun madrasah-madrasah tersebut, pada awal perkembangannya, masih bersifat Diniyah semata-mata. Baru sekitar tahun 1930, sedikit demi sedikit, akan tetapi bertambah cepat, dilakukan pembaharuan terhadap madrasah dalam rangka memantapkan keberadaannya, khususnya dengan penambahan pengetahuan umum.

D. Majlis Ta’lim
Majlis Ta’lim merupakan salah satu lembaha pendidikan Islam yang bersifat nonformal, yang senantiasa menanamkan akhlak yang luhur dan mulia, meningkatkan kemajuan ilmu pengatahuan dan keterampilan jama’ahnya, serta memberantas kebodohan umat Islam agar dapat memperoleh kehidupan yang bahagia dan sejahtera dan diridlai oleh Allah SWT.
Majelis Ta’lim juga merupakan lembaga pendidikan masyarakat, yang tumbuh dan berkembang dari kalangan masyarakat Islam itu sendiri, yang kepentingannya untuk kemaslahatan umat manusia. Oleh karena itu, majelis ta’lim adalah lembaga swadaya masyarakat yang hidupnya didasarkan kepada “ta’awun” dan “ruhama’u bainahum”.
Pertumbuhan majelis ta’lim di kalangan masyarakat, menunjukkan kebutuhan dan hasrat anggota masyarakat tersebut akan pendidikan agama. Dan perkembangan selanjutnya menunjukkan kebutuhan dan hasrat masyarakat yang lebih luas lagi, yaitu usaha memecahkan masalah-masalah menuju pendidikan yang lebih bahagia. Peningkatan tuntutan jama’ah dan peranan pendidikan yang bersifat non formal, menimbulkan pula kesadaran dan inisiatif para ulama dan anggota masyarakat untuk memperbaiki, meningkatkan dan mengembangkan kualitas dan kemampuan, sehingga eksistensi majelis ta’lim dapat menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Setelah diadakan kajian dan pembahasan tentang sistem pendidikan di Indonesia, diketahui bahwa secara garis besar sistem pendidikan Islam di Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Sistem pendidikan mushalla/mesjid;
2. Sistem pendidikan pondok pesantren;
3. Sistem pendidikan madrasah; dan
4. Sistem pendidikan majlis ta’lim
Keempat sistem tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sistem pendidikan yang dijalankan pada masa Rasulullah saw. dan para sahabat, hanya saja mendapatkan sentuhan-sentuhan baru yang diadaptasikan dengan kondisi kultur bangsa Indonesia





DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur. 1991. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta.

Ismail, H. Faisal. 2003. Masa Depan Pendidikan Islam. Di Tengah Kompleksitas Tantangan Modernitas. Jakarta: Bumi Aksara Persada.

Muhaimin dan Mujib, Abdul. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya. Bandung: Trigenda karya.

Ramayulis. 2002. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Yunus, Mahmud. 1985. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.

KEBERADAAN PONDOK PESANTREN PADA ABAD MODERN

oleh: Asep Bunyamin
(Dewan Asatidz di Pondok Pesantren Nurul Hasanah Selebu Cipasung Cipakat Singaparna Tasikmalaya)

A. Pendahuluan
Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri. Mengenai asal usul kata santri, tidak ada kesepakatan di kalangan para peneliti. Sebagian mengatakan bahwa kata santri berasal dari kata sastri, sebuah kata dari Bahasa Sansakerta yang artinya melek huruf. Sementara menurut Zamakhsyari Dhofier, kata santri adalah sebuah kata dalam Bahasa India yang artinya adalah orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu. Berbeda dengan kedua pendapat di atas, Robson berpendapat bahwa kata santri berasal dari Bahasa Tamil “sattiri” yang berarti orang yang tinggal di sebuah rumah gubuk atau bangunan keagamaan secara umum.
Di Indonesia, istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Pondok berasal dari Bahasa Arab funduq, yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal yang sederhana. Penggunaan gabungan kedua istilah tersebut secara integral, yakni pondok dan pesantren menjadi pondok pesantren lebih mengakomodasikan karakter keduanya.
Dengan demikian, pondok pesantren dapat diartikan secara etimologi sebagai sebuah hotel, asrama, rumah, atau tempat tinggal sederhana yang dihuni oleh orang yang melek huruf, tahu buku-buku suci agama. Dan santri adalah orang yang melek huruf, mengetahui buku-buku suci agama yang tinggal di hotel, asrama, rumah gubuk, atau bangunan keagamaan secara umum.
Di samping itu, ada juga yang mendefinisikan pesantren sebagai “lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari”.
Terminologi pesantren di atas, mengindikasikan bahwa secara kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia. Menurut Nurcholish Madjid, secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tapi juga makna ke-Indonesia-an. Sebab cikal bakal pesantren sudah ada pada masa Hindu-Budha, Islam hanya tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya.

B. Karakteristik Pondok Pesantren
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren berbeda dengan pendidikan lainnya, baik dari aspek sistem pendidikannya maupun unsur-unsur pendidikan yang dimilikinya. Perbedaan dari segi sistem pendidikannya dapat terlihat dari proses belajar-mengajarnya yang cenderung sederhana dan tradisional, sekalipun terdapat pesantren yang memadukan sistem pendidikannya dengan sistem pendidikan modern.
Karakteristik umum pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah, dan lembaga sosial dapat dilihat dari perangkat-perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software)-nya. Secara umum, pondok pesantren memiliki perangkat-perangkat sebagaimana dikemukakan oleh Zamakhsyari Dhofier, meliputi lima unsur; masjid, pengajaran kitab klasik, kiai, santri, dan asrama atau pondok.
Masjid dianggap sebagai tempat yang tepat dan strategis untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik shalat berjama’ah, shalat jum’at, kegiatan ritual, dan tempat pengajian. Masjid merupakan sentral kegiatan dalam tradisi pesantren. Pengajaran kitab klasik, terutama di pesantren-pesantren salafiyah merupakan satu-satunya pengajian formal yang diberikan di lingkungan pesantren. Tujuan utamanya adalah mendidik para santri sebagai calon-calon kiai Kiai merupakan elemen yang paling esensial dalam suatu pesantren. Tidak mungkin ada pesantren tanpa kiai, begitu pula sebaliknya, kiai mesti memiliki pesantren. Santri merupakan elemen penting dalam suatu lembaga pesantren, karena sebuah lembaga tidak bisa disebut pesantren manakala tidak ada santri yang belajar di lembaga tersebut. Pondok atau asrama merupakan elemen lanjutan setelah pesantren mengalami perkembangan, santri yang belajar semakin bertambah, bahkan banyak yang berasal dari luar daerah, sedangkan rumah kiai yang biasa ditempati oleh para santri sudah tidak dapat lagi menampungnya.
Adapun secara spesifik, karakteristik pondok pesantren dalam bentuknya yang masih murni adalah sebagai berikut:
1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya.
2. Adanya kepatuhan santri yang sangat tinggi kepada kiainya
3. Adanya pembiasaan hidup hemat dan sikap sederhana dalam kehidupan duniawi
4. Adanya penanaman sikap kemandirian yang sangat terasa dalam memenuhi segala keperluan.
5. Adanya jiwa tolong-menolong dan persaudaraan yang sangat mewarnai pergaulan di pondok pesantren
6. Adanya penekanan dan penanaman kedisiplinan dalam ketepatan waktu shalat, kegiatan pendidikan, kegiatan peribadatan, dan dalam perilaku sehari-hari
7. Adanya pembiasaan hidup prihatin untuk mencapai tujuan mulia, seperti tirakat, shalat tahajjud, riyadlah, dan lain-lain.
8. Adanya lingkungan pendidikan yang strategis untuk penanaman sikap dan kehidupan beragama yang baik, karena pesantren merupakan tempat pendidikan dan pengajaran agama.
Selanjutnya Nurcholis Madjid mengemukakan hal-hal lain yang melekat pada pondok pesantren, yaitu teosentrik, ikhlas dalam pengabdian, kearifan, kesederhanaan, kolektifitas, mengatur kegiatan bersama, kebebasan terpimpin, kemandirian, keyakinan bahwa belajar itu ibadah, pengamalan ajaran agama, dan kepatuhan terhadap kiai.
Sementara Amin Haedari, ketika ia hendak mengatakan bahwa pendidikan pesantren dapat dijadikan jawaban dalam menghadapi krisis kemanusiaan, ia mengemukakan beberapa alasan yang tiada lain adalah karakteristik pondok pesantren. Menurutnya pesantren memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Adanya keteladanan kiai dalam mengamalkan segala disiplin ilmu yang dimilikinya di dalam kehidupan keseharian kiai. Keteladanan ini merupakan kunci utama keberhasilan pesantren dalam membina para santri, khususnya dalam aspek afektif dan psikomotor.
2. Adanya perhatian besar yang diberikan oleh kiai kepada para santrinya. Hal ini dapat melahirkan keakraban dan hubungan emosional yang tinggi antara santri dengan kiainya, dan bahkan dengan orang tua atau wali santri.
3. Adanya tradisi kasih sayang, saling mencintai, saling menyayangi, dan saling menghormati antara sesama santri dan antara santri dengan kiainya. Hal ini merupakan acuan yang dijadikan standar utama di pondok pesantren
4. Adanya penanaman sikap percaya dan tanggung jawab yang tinggi kepada para santri, terutama kepada santri-santri yang telah lama belajarnya di pondok pesantren.
5. Adanya pembiasaan hidup bersama dalama mengerjakan suatu pekerjaan yang merupakan kepentingan bersama. Dalam kehidupan pesantren, santri sudah dilatih sejak dini untuk bekerjasama dengan sesama, seperti membuat jadwal petugas masak, jadwal petugas kebersihan kamar, dan lain-lain.
6. Adanya pembiasaan untuk hidup disiplin dalam menjalankan tugas dan kewajiban dengan tepat waktu, seperti dalam kegiatan pengajian, mudzakarah, peribadatan, pembiasaan shalat berjama’ah, dan kegiatan lainnya.
7. Adanya penanaman aspek kemandirian santri. Hal ini benar-benar ditekankan di pesantren. Segala macam keperluan santri harus dilakukan secara mandiri, jangan bergantung kepada orang lain. Seperti masak, mencuci, membersihkan ruangan, dan lain-lain.

C. Keberadaan Pesantren di Abad Modern
Sejak awal kehadirannya pesantren dengan sifatnya yang lentur (felxible) ternyata mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat serta memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu juga pada abad modern sekarang ini, pesantren senantiasa mengadakan inovasi dan rekonstruksi dalam segala hal yang berkenaan dengan pendidikan pesantren tanpa melunturkan jatidirinya sebagai pesantren.
Meskipun demikian, pesantren juga tidak luput dari berbagai kritik terhadap kelemahan pesantren, hal ini ditunjukkan kepada sebagian pesantren yang tetap mempertahankan ketradisionalannya, statis dan menutup diri dari keadaan zaman. Islam yang diajarkan oleh pondok pesantren seperti ini pada umumnya adalah Islam yang telah mengalami teror dan intimidasi musuh Islam, yakni Islam yang ritualistik dan sufistik, bahkan mengarah kepada feodalistik .
Untunglah, beberapa pondok pesantren cepat mengidentifikasi masalah ini, dan segera menyesuaikan diri, membuat diri mereka menjadi modern. Yang membuat mereka melakukan hal ini adalah dalam upaya menjawab tantangan zaman dan mengejar ketertinggalan, khususnya di bidang sosial kemasyarakatan. Karena walau bagaimanapun pesantren pada dasarnya tumbuh dan berkembang, dari, oleh dan untuk masyarakat.
Berbagai inovasi telah dilakukan untuk pengembangan pesantren baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Masuknya pengetahuan umum dan keterampilan ke dalam pesantren adalah sebagai upaya untuk memberikan bekal tambahan agar para santri bila telah menyelesaikan pendidikannya dapat hidup layak dalam masyarakat. Masuknya sistem klasikal dengan menggunakan sarana dan peralatan pengajaran madrasah sebagaimana yang berlaku di sekolah-sekolah bukan barang baru lagi bagi pesantren. Bahkan ada pesantren yang lebih cenderung membina dan mengelola madrasah-madrasah atau sekolah umum, baik tingkat dasar, menengah maupun perguruan tinggi.
Karena itulah akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan, yaitu:
1. Mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern.
2. Semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya.
3. Diverifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan keterbukaan dan ketergantungannya pun absolut dengan kiai, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja.
4. Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat .
Kendatipun demikian, pesantren masih tetap mempertahankan suatu sistem pengajaran tradisional yang menjadi ciri khasnya, yaitu sistem sorogan tampak dalam berbagai bentuk bimbingan individual, sedangkan cara bandungan tampak dalam kegiatan-kegiatan ceramah-ceramah umum, yang sekarang kegiatan seperti ini lebih dikenal dengan majelis ta’lim.
Pergerseran-pergeseran nilai yang terjadi menuntut pesantren untuk melakukan reorientasi tata nilai bentuk baru yang relevan dengan tantangan zamannya, tanpa kehilangan jati diri sebagai lembaga pendidikan Islam.

D. Penutup
Demikian uraian singkat mengenai keberadaan pesantren pada abad modern. Makalah sederhana ini, mudah-mudahan memberi manfaat dan sumbangan pemikiran yang berarti bagi kalangan pesantren dan lembaga pendidikan Islam pada umumnya.


DAFTAR PUSTAKA


Amsyari, Fuad. 1993. Masa Depan Umat Islam Indonesia. Al-Bayan, Bandung
Hasbullah. 2001. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: Raja Grapindo Persada.
Madjid, Nurcholish. 1985. Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Islam. dalam Dawam Rahardjo (ed.). Pergulatan Dunia Pesantren; Membangun dari Bawah. Jakarta: P3M.
------------------1997. Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina.
Malik, Jamaludin (ed.). 2005. Pemberdayaan Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Yasmadi 2005. Modernisasi Pesantren. Ciputat: Quantum Teaching

ASPEK-ASPEK PSIKOLOGIS DALAM PROSES PEMBELAJARAN

Oleh: Asep Bunyamin

A. Pendahuluan
Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belahar yang dialami siswa, baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarganya sendiri.
Kegiatan pembelajaran syarat dengan muatan psikologis. Dengan kata lain, banyak aspek psikologis dalam proses pembelajaran yang harus dipahami oleh seorang pendidik demi tercapainya tujuan pendidikan. Mengabaikan aspek-aspek psikologis dalam pembelajaran akan berakibat kegagalan. Untuk dapat memahami berbagai aspek psikologis dalam pembelajaran, guru harus memahami berbagai konsep psikologi, khususnya psikologi belajar.
Banyak hal yang perlu dikuasai oleh seorang pendidik, bukan hanya hal-hal yang kasat mata dan lahiriah, tetapai juga harus menguasai hal-hal yang bersifat batiniah. Misalnya memahami perasaan, keinginan, jalan pikiran, dan emosi siswa, yang kesemuanya tercakup dalam ranah psikologi. Tanpa keahlian tersebut, pendidik tidak akan mampu memaksimalkan potensi siswa.

B. Psikologi Pembelajaran
Kata psikologi berasal dari Bahasa Inggris psychology. Kata ini diadopsi dari Bahasa Yunani yang berakar dari dua kata yaitu psyche yang berarti jiwa atau roh, dan logos berarti ilmu. Jadi secara mudah psikologi berarti ilmu jiwa.
Beberapa ahli memberikan pendapat mengenai arti psikologi. RS. Woodworth berkata psychology can be defined as the science of the activities of the individual (Woodworth, 1955:3). Ngalim Purwanto (1996:12) menyatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Tingkah laku disini meliputi segala kegiatan yang tampak maupun yang tidak tampak, yang dilakukan secara sadar atau tidak sadar. Sedang Sarwono (1976) mendefinisikan psikologi dalam tiga definisi. Pertama, psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan. Kedua, psikologi adalah ilmu yang mempelajari hakikat manusia. Ketiga, psikologi adalah ilmu yang mempelajari respon yang diberikan oleh makhluk hidup terhadap lingkungannya.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku individu dalam interaksi dengan lingkungannya.
Adapun pengertian belajar, Muhibbin (2006) berpendapat bahwa belajar merupakan tahapan perubahan seluruh tingkah laku yang relative menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Sedang menurut Morgan dalam Introdution to Psycology (1978) berpendapat belajar adalah perubahan yang relative menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai hasil dari latihan.
Ngalim Purwanto (1996:14) menyatakan bahwa belajar memiliki empat unsur:
a. Perubahan dalam tingkah laku
b. Melalui latihan
c. Perubahan relative mantap
d. Perubahan meliputi fisik dan psikis
Jadi dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses menuju perubahan yang bersifat mantap melalui proses latihan dalam interaksi dengan lingkungan dan meliputi perubahan fisik dan mental.
Dari pengertian masing-masing psikologi dan belajar, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa psikologi belajar adalah suatu ilmu yang mengkaji atau mempelajari tingkah laku manusia, didalam mengubah tingkah lakunya dalam kehidupan pribadi, kemasyarakatan dan kehidupan alam sekitar melalui proses pendidikan.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa psikologi belajar menitik beratkan pada perilaku orang-orang yang terlibat dalam proses belajar, yaitu pendidik dan murid.

C. Aspek-aspek Psikologis dalam Pembelajaran
Sebagaimana dinyatakan di muka bahwa proses pembelajaran syarat dengan aspek-aspek psikologis yang harus diperhatikan oleh seorang pendidikan atau pengajar, demi menunjang keberhasilan proses pembelajaran tersebut. Aspek-aspek psikologis tersebut akan dijelaskan di bawah ini:
1. Tingkat kecerdasan/inteligensi siswa
Inteligensi ialah kemampuan untuk menemukan, yang bergantung pada pengertian yang luas dan ditandai oleh adanya suatu tujuan tertentu dan adanya pertimbangan-pertimbangan yang bersifat korektif. Jelasnya, inteligensi itu meliputi pengertian penemuan sesuatu yang baru, adanya keyakinan atau ketetapan hati dan adanya pengertian terhadap dirinya sendiri (Juhaya S. Praja & Usman Effendi, 1984:89).
Pendapat lain menyatakan bahwa inteligensi pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat (Muhibbin Syah, 1997:135). Dengan dengan demikian, diketahui bahwa inteligensi sebenarnya bukan persoalan kualitas otak saja, melainkan juga kualitas organ-organ tubuh lainnya. Namun diakui, memang, peran otak dalam hubungannya dengan inteligensi manusia lebih menonjol daripada peran organ-organ tubuh lainnya, lantaran otak merupakan “menara pengontrol” hampir seluruh aktivitas manusia.
Sudah menjadi sebuah keyakinan bersama dan dibuktikan secara empiris bahwa tingkat kecerdasan atau inteligensi seseorang (siswa) sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar. Ini bermakna, semakin tinggi tingkat kecerdasan seorang siswa maka semakin besar peluangnya meraih sukses dalam belajar. Sebaliknya, semakin rendah tingkat kecerdasannya maka semakin kecil peluangnya untuk memperoleh sukses.
2. Sikap Siswa
Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons (response tendency) dengan cara yang relatif terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif (Muhibbin Syah, 1997:135).
Yang sangat memegang peranan penting dalam sikap ialah faktor perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi/respons, atau kecenderungan untuk bereaksi. Dalam beberapa hal sikap merupakan penentu yang penting dalam tingkah laku manusia. Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakannya atau menjauhi/menghindari sesuatu (M. Ngalim Purwanto, 1997:141).
Dalam proses pembelajaran sikap termasuk salah satu yang mempengaruhi proses pembelajaran. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa respon positif yang diberikan siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan merupakan pertanda baik dalam mengikuti proses belajarnya. Sebaliknya, respon negatif yang berikan terhadap mata pelajaran atau guru bahkan diberangi dengan kebencian akan dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa. Jika kesulitan belajar telah dialami siswa maka tingkat keberhasilan belajar tidak akan tercapai.
3. Bakat Siswa
Bakat adalah kemampuan individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan latihan (Muhibbin Syah, 1997:135). Seorang yang siswa yang memiliki bakat dalam bidang tata bahasa Arab, misalnya, akan jauh lebih mudah menyerap informasi, pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan bidang tersebut dibanding dengan siswa lainnya.
Berhubungan dengan hal di atas, bakat akan mempengaruhi tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar bidang studi tertentu. Oleh karenanya, sangat tidak bijaksana apabila orang tua memaksa untuk menyekolahkan anaknya pada jurusan keahlian tertentu yang tidak sesuai dengan bakat yang dimiliki anak.
4. Minat Siswa
Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Minat seperti yang dipahami dan dipakai orang selama ini dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar siswa dalam bidang-bidang studi tertentu (Muhibbin Syah, 1997:136). Umpamanya, seorang siswa yang menaruh minat besar terhadap PAI akan memusatkan perhatiannya lebih banyak daripada siswa lainnya.
Menurut Slameto (1987:180), minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterikaitan pada suatu hal atau aktivitas ada yang menyuruh. Ws. Winkel (1983:78) mengartikan minat sebagai kecenderung yang agak menetap untuk merasa tertarik pada bidang-idang studi tertentu. Sementara itu WS. Winkel (1983:61) mengartikan minat sebagai kecenderungan yang agak menetap untuk merasa tetarik pada pada bidang-bidang studi tertentu.
Belajar akan menjadi suatu siksaan dan tidak memberi manfaat jika tidak disertai sifat terbuka bagi bahan-bahan pelajaran. Guru yang berhasil membina siswanya berarti ia telah melakukan hal-hal yang paling penting yang dapat dilakukan demi kepentingan belajar siswa-siswanya. Sebab minat bukanlah sesuatu yang ada begitu saja, melainkan sesuatu yang dapat dipelajari.
Pada dasarnya minat ada yang muncul dengan sendirinya yang disebut minat spontan dan ada minat yang muncul dan dibangkitkan dengan sengaja. Pendapat lain mengatakan bahwa minat terbagi kepada dua bagian, yaitu minat pembawan dan lingkungan. Biasanya minat ini muncul berdasarkan bakat yang ada, misalnya apabila seseorang memiliki bakat di bidang pendidikan (guru) maka ia akan masuk ke fakultas keguruan. Minat seseorang bisa saja berubah karena adanya pengaruh seperti kebutuhan dan lingkungan.


5. Motivasi Siswa
Motif merupakan pendorong bagi suatu organisme untuk melakukan sesuatu (M. Ngalim Purwanto, 2007:103). Pendapat lain mengatakan bahwa motif ialah keadaan internal organisem –baik manusia ataupun hewan– yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu (Muhibbin Syah, 1997:136).
Motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar (Muhibbin Syah, 1997:136-137). Kekurangan atau ketiadaan motivasi, baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal, akan menyebabkan kurang bersemangatnya siswa dalam melakukan proses pembelajaran materi-materi pelajaran baik di sekolah maupun di rumah.

D. Penutup
Dari pembahasan yang telah disampaikan di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa dalam proses pembelajaran guru memiliki kewajiban untuk memperhatikan aspek-aspek psikologis siswa guna tercapainya proses pembelajaran. Kelima aspek psikologis di atas, yaitu tingkat kecerdasan, sikap, bakat, minat, dan motivasi siswa harus mendapat perhatian penuh dari seorang tenaga pengajar, dalam hal ini guru. Tanpa kelima aspek tersebut tingkat keberhasilan belajar tidak akan tercapai.



Referensi:
Praja, Juhaya S. & Efendi, Usman. 1984. Pengantar Psikologi. Bandung: Angkasa.
Purwanto, M. Ngalim. 2007. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Syah, Muhibbin. 1997. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Rosda Karya.
Winkel, W.S. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Grasindo.